Senin, 23 April 2012

JKT48 Novel Fan Fiction Part 4 (Season 1)

Fan fiction ini adalah lanjutan dari JKT48 Novel Fan fiction Part 1, Part 2, dan Part 3. Karya ini diterbitkan atas kerjasama JKT48 Fanblog dengan fanpage JKT48 Novel, karya teman kita Chikafusa Chikanatsu
Follow juga JKT48 Novel di twitter

JKT48

Di sebuah pelabuhan tempat bersandarnya kapal kapal pada sore hari. Pelabuhan ini lebih cocok dibilang tempat dimana orang orang yang ingin memancing dengan meminjam atau menyewa kapal kapal mini. Tentu banyak sekali kapal kapal yang bersandar pada saat itu. Jumlahnya diatas lima puluhan. Seorang wanita remaja berambut panjang terlihat sedang membersihkan kapal dengan menyikat sisi sisi body kapal dengan sikat lengkap dengan ember berisi air sabun. Pekerjaan ini memang tidak mudah dan menghabiskan banyak sekali energi. Terlihat pancaran wajah keputusasaan dari wanita itu. Air keringatnya mengucur deras dari atas kepala hingga jatuh ke dasar tanah. Tubuhnya sangat kelelahan. Nafasnya naik turun tidak teratur.



Kemudian Ronald datang menghampirinya. ''Ca, istirahatlah.'' bujuk Ronald.

Wanita itu tidak menghiraukan ucapan Ronald dan terus menyikat. Melihat itu, tiba tiba Ronald mengambil sikat yang dipegang wanita itu. Tanpa banyak kata atau perintah Ronald segera membersihkan kapal. Lebih tepatnya Ronald telah membantu pekerjaan wanita itu.

   ''Kamu ini kenapa? Pekerjaan ku ya pekerjaan ku. Pekerjaan mu ya pekerjaan mu. Jangan sok peduli denganku.'' ucap heran wanita itu.
Ronald tertawa menanggapinya. ''Aku ini masih punya banyak tenaga. Lagipula pekerjaan ku sudah selesai. Jadi, kamu tinggal duduk manis saja menunggu ini semua. Selesai.''
   ''Kamu ini ngomong apa? Sini biar aku aja yang mengerjakannya.''

Wanita itu berusaha mengambil sikatnya dari tangan Ronald. Namun Ronald menhindarnya.
   ''Jangan main main.'' kesal wanita itu.
   ''Siapa yang main main.'' balas Ronald dengan wajah kejahilannya itu. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Memang, tidak biasanya Ronald membantu jatah pekerjaan wanita itu. Mereka berdua sama sama bekerja di pelabuhan itu. Pekerjaan mereka tidak besar, bisa dibilang pekerjaan sambilan. Kerjanya hanya menyikat body kapal dari lumut yang menempel. Upah mereka pun hanya sebesar sepuluh ribu rupiah saja sehari. Biasanya mereka bekerja dari sore hingga matahari terbenam.

   ''Sudah ku bilang, kamu tinggal duduk manis saja sampai aku menyelesaikan semua ini.'' tambah Ronald.
Wanita itu kesal karena tidak bisa menebak isi hati Ronald. Sebenarnya dia itu kenapa? Kenapa dia suka sekali membuat orang penasaran. Apa yang akan dia rencanakan? Tau ah.
Dengan wajah kesal wanita itu meninggalkan Ronald. Berjalan dengan langkah tergesa gesa.

   ''Selamat ulang tahun, Rica!'' teriak keras Ronald.
Ya, nama wanita itu adalah Rica Leyona. Mendengar ucapan Ronald, Rica sempat terdiam sejenak. Kemudian dibalikannya tubuhnya menghadap Ronald perlahan. Hatinya sungguh tersentuh mendengar ucapan Ronald. Rasa penasarannya sudah hilang. Rica memang tahu betul bahwa hari ini adalah hari ulang tahunya. Tapi, darimana Ronald bisa tahu? Rica tidak pernah memberitahukan tanggal kelahirannya pada Ronald. Rica berjalan mendekati Ronald.
   ''Bagaimana kamu bisa tau?''
Ronald tersenyum. ''Ibumu lah yang sudah memberitahuku. Ibumu bilang, aku harus bersikap baik hari ini. Lalu aku bertanya, kenapa aku harus melakukan itu? Dan ibu menjawab bahwa hari ini adalah hari ulang tahun mu.''

Rica tersenyum malu. Merasa dirinya telah dikejutkan olehnya. Dan juga merasa sangat senang, bahwa dibelakang Ibunya sangat memperhatikannya. Tempat tinggal Rica tidak jauh dengan tempat tinggal Ronald. Mereka masih satu kampung. Mereka biasa bergaul bersama saat ada waktu kosong. Jika bertanya mengenai keadaan keluarganya, maka jawabannya adalah Rica merupakan anak dari kalangan bawah. Sama seperti Ronald. Walaupun begitu, Rica adalah wanita pekerja keras, apapun yang menghasilkan uang pasti ia akan lakukan tanpa ada rasa malu dalam dirinya. Karakternya tidak berbeda jauh dengan Ronald.

   ''Makasih ya atas ucapanya.'' ucap Rica senang.
   ''Gak perlu berterima kasih. Gak banyak hal yang aku lakukan untukmu. Mendengarnya aku jadi merasa bersalah. Tapi tenang saja, pekerjaan mu hari ini akan aku lakukan semuanya. Mungkin inilah yang bisa aku persembahkan untukmu. Jadi, kamu jangan mencoba menolaknya, ya?''
Rica menggangguk. Ucapan Ronald cukup membuatnya terharu. Apapun yang Ronald persembahkan saat di hari ulang tahunnya akan Rica terima dengan senang, baik itu hal kecil maupun besar. Matanya jadi berkaca kaca. Sangking terharunya sampai sampai meneteskan air mata. Tidak banyak teman yang Rica punya. Hanya Ronald lah yang paling mengerti isi kehidupannya. Mungkin itulah yang membuatnya sangat terharu.
   ''Hei, kenapa menangis? Suasana begini malah menangis.''
   ''Aku sangat senang,'' Senyum Rica.
   ''Kalau kamu senang seharusnya kamu loncat loncat atau mungkin teriak sekeras mungkin. Cepat lap air mata mu itu. Baru kali ini aku melihatmu cengeng kaya gitu.'' gurau Ronald.
   ''Aku senang, aku senang. Aku senang! Jika aku sukses nanti aku gak akan pernah melupakan orang orang yang ada disisi ku.'' teriak keras Rica.
   ''Nah, itu baru benar. Jika kamu sukses nanti jangan pernah lupakan aku. Ingat itu.'' jawab Ronald.


Jam sudah menunjukkan pukul lima sore hari. Suasana klinik masih terlihat sangat ramai. Penuh pasien. Seorang dokter wanita sedang sibuk membalut perban seorang pasien anak kecil yang tanganya lecet karena terjatuh dari sepeda. Biasanya klinik sudah tutup pada jam lima sore. Pasien terus bertambah saja. Rencana untuk menutup klinik terpaksa harus ditunda.


   ''Bu, aku mau ngomong dengan Ibu.'' seru seorang wanita remaja yang merupakan anak dari dokter yang sedang membalut perban anak kecil itu.
   ''Ibu sedang sibuk. Apa gak bisa di tunda?'' tanyanya sambil menoleh sebentar.
Wanita remaja itu sekilas memandang sekeliling. Pasien dimana mana, menunggu untuk segera diobati. Namun sayang, pertanyaan yang ingin dilontarkan malah bertentangan dengan suasana saat itu. Nama wanita remaja itu Alissa Galliamova, umurnya sembilan belas tahun. Setelah lulus dari Sma, Mova sering sekali membantu Ibunya bekerja di klinik. Walau hanya lulusan Sma, kemampuan Mova dalam membantu mengobati orang sakit sangat bisa dipercaya. Saat Sma, Ibunya sering mengajarkan teknik teknik dasar pertolongan darurat pada Mova.

Saat itu Mova ingin sekali pulang karena kelelahan, tapi keinginannya dikalahkan oleh rasa kasihan dan akhirnya Mova kembali melayani para pasien.

Mova menghampiri seorang pasien pria lanjut usia yang sedang duduk di kursi lobby.
   ''Selamat sore. Apa ada yang bisa saya bantu, pak? Bapak bisa sampaikan padaku keluhan yang bapak rasakan.'' senyum Mova.
   ''Adek seorang dokter?'' ucap ragu bapak itu.
Memang tak mudah rasanya mempercayai seorang remaja yang masih sangat muda seperti Mova. Pengalamanya pun pasti tidak banyak.
   ''Lebih tepatnya mungkin aku ini seorang asisten dari dokter yang ada disana.'' jawab Mova sambil menoleh ke arah Ibunya.
   ''Dia juga adalah Ibuku.'' tambah Mova.
   ''Diusia bapak yang sudah setua ini bapak gak mengharapkan banyak cara pengobatan. Bapak hanya ingin mendengar solusi tentang penyakit bapak ini.'' Pasrah bapak itu.
   ''apa bapak bisa jelaskan secara detail tentang penyakit bapak itu?''
   ''Bapak sering sekali pingsan dikarenakan serangan jantung. Tentu gak mudah mengobati penyakit ku ini dan pasti mengeluarkan banyak biaya. Tapi bapak hanya ingin mendengar solusi dari penyakit bapak ini agar dampak yang ditimbulkan berkurang. Apa kamu tau?'' tanya bapak itu.

Mova tersenyum sejenak. Tiba tiba tanpa perintah apapun Mova langsung merebahkan kerah bapak itu.
   ''Kalau bapak mempunyai penyakit jantung hindarkankah memakai pakaian yang ketat seperti ini. Pada saat malam hari pakailah selimut yang tebal. Apa bapak mempunyai seorang anak atau cucu?'' Tanya Mova.
   ''Iya, bapak punya seorang cucu berusia lima belas tahun dirumah.''
   ''Syukurlah. Bilanglah pada cucu bapak kalau kalau bapak tiba tiba pingsan, segeralah menelepon ambulan untuk dibawa ke rumah sakit. Biasanya penderita penyakit ini sering sekali alami pingsan secara tiba tiba. Itu disebabkan pembuluh nadi jantung bapak kemungkinan telah tersumbat. Kalau bapak sulit bernafas itu merupakan hal yang paling fatal. Satu satunya cara adalah memberinya nafas buatan.'' ucap Mova dengan rasa percaya dirinya.
   ''Bapak masih belum mengerti. Apa kamu tau kenapa seseorang menjadi susah bernafas atau mungkin mendapat serangan jantung?'' tanya penasaran bapak itu.
   ''Penyakit ini dinamakan koronariasis. Disebabkan gak beresnya peredaran darah sehingga mengganggu kerja pemompaan jantung. Katup serta otot penggerak jantung menjadi gak berfungsi lagi. Selain penyempitan pembuluh nadi, penyumbatan pada pembuluh nadi pun akan menimbulkan rasa nyeri yang hebat di dada, bahkan bisa menyebabkan penderita menjadi shock, sukar bernafas. pada tahap ini penderita meresa seakan akan sudah akan putus nyawa. Maka selain kondisi physik, kondisi physis penderita pun memerlukan perhatian semaksimal mungkin.''

Bapak itu hanya bisa manggut manggut kagum mendengarkan penjelasan Mova dengan sangat detail. Ibunya yang berada tidak jauh pun melihat dan merasa bangga padanya. Ternyata tidak sia sia ibunya mengajarkan keahliannya pada anaknya. Setelah menjelaskan panjang lebar, Mova segera mengambil segelas teh hangat untuk diberikan pada bapak dan pasien lainnya yang sedang menunggu.

***

Melo dan Ve baru saja selesai mengunjungi apartemen Dhike. Mereka berdua berjalan kedepan sampai dipintu gerbang keluar apartemen. Biasanya dari pintu gerbang apartemen Ve naik taksi, sedangkan Melo menaiki angkutan umum. Arah jalan mereka pulang saling bertolakan. Setelah mereka berdua tiba dipintu gerbang apartemen, sebuah kertas brosur melayang tertiup angin dan menyentuh tubuh Ve. Sekilas Ve menghiraukannya brosur tersebut. Namun, brosur itu mampu menghipnotis Ve hingga akhirnya Ve ingin melihatnya. Yang membuat Ve tertarik ingin melihatnya adalah di brosur itu terdapat sebuah foto yang tercetak mulus, bening. Diambilnya kembali brosur yang tergeletak di aspal dan dipandanginya sejenak. Butuh waktu beberapa detik untuk memahami apa yang dilihat Ve dalam brosur itu. ve masih tidak percaya dengan isi brosur itu. Kemudian dibacanya kembali hingga tak ada satu katapun yang terlewat. Setelah memahami betul isi brosur tersebut, spontan Ve kaget.

   ''Mel! Mel! Sini coba lihat!'' terak Ve.
   ''Kenapa pake teriak? Memangnya kenapa? Itu kan brosur.''
   ''Iya, aku tau ini brosur. Tapi lihat isinya, Mel. Ada cover lengkap AKB48 disini.''
   ''Masa sih? Coba aku lihat.''

Melody segera membaca isi brosur tersebut. Dan ternyata, ekspresi Melo sungguh mengecewakan bagi Ve. reaksinya biasa biasa saja. Tidak seperti Ve yang begitu antusias.
''Rasa penasaranku akhirnya terjawab juga. Jadi ini tujuan Takamina datang ke sini dua hari yang lalu. Dia meresmikan pembukaan audisi tahap awal sisternya yang berada di luar Jepang. Indonesia beruntung sekali.'' ucap Melo.
   ''ish, apa hanya itu ekspresi yang kamu punya?'' tanya Ve sambil mengamati wajah Melo.
Ekspresi Melo masih sama. ''Lalu, ekspresi ku harus bagaimana? Kaget?''
   ''Tentu saja.'' jawab singkat Ve.
   ''Ah, hanya orang orang yang berbakat saja dalam bidang ini yang sangat beruntung. Ini sungguh kejadian yang sangat langka.''
   ''Itu adalah kita!'' teriak Ve antusias.
   ''Apa maksud kamu?'' heran Melody.
   ''Kita harus ikut dalam audisi itu. Bagaimana pun caranya. Kamu benar, Mel. Ini adalah kejadian yang sangat langka. Kesempatan gak boleh di sia sia kan, justru kita harus memanfaatkan situasi kaya gini.''
   ''Kamu bercanda? Atau mungkin sungguh sungguh?''
   ''Aku serius. Apa salahnya dicoba. Kita membicarakan tentang ke hoki an.''
Ve kembali membaca brosur tersebut, ''Jadi, masih ada waktu satu minggu sebelum audisi dimulai. Kita bisa lakukan latihan dasar untuk menyambutnya. Aku punya ide! Murid baru itu, Stella. Kita jadikan dia sebagai guru kita. Dia cukup terampil dalam menari. Keahliannya sudah gak diragukan lagi.''
   ''Kita? Kamu aja ah Ve. Aku gak ikut ikut. Aku itu sungguh kaku dalam hal menari. Sudah ah, tuh ada taksi. Cepat pulang sana.''
   ''Kamu ini bagaimana, pokoknya kamu harus pikirkan baik baik tentang ucapanku mengenai audisi itu. Aku tunggu jawabanya besok di sekolah. Pokoknya harus!'' bujuk Ve.

Percakapan mereka segera diakhiri. Ve berjalan masuk ke dalam taksi.
   ''Tawaranmu sungguh aneh buatku. Dia begitu semangat sekali mengenai audisi itu.'' ucap Melo sambil memandang Ve dari kejauhan.



Hujan turun sudah dua jam lamanya, makin lama makin deras. Langit kota Jakarta begitu tidak mendukung bagi sebagian orang yang masih melakukan kegiatan diluar ruangan. Sekarang sudah lewat jam sembilan malam. Air hujan yang jatuh ke bumi begitu deras dan membuat pandangan mata kedepan menjadi buram, tertutup oleh kucuran air hujan. Kilat serta suara petir tidak ada habisnya mendampingi malam ini. Angin yang begitu kencang membuat sebagian batang daun terlepas dari pohonnya. Jalanan yang semula bersih menjadi berantakan, daun daun berserakan dimana mana. Jika kita menaruh ember di tengah tengah kucuran air hujan, ember itu akan penuh dalam hitungan detik saja.

Sebuah taksi berhenti didepan sebuah hotel ternama di Jakarta. Keluarlah wanita berjaket tebal, memakai kacamata hitam dan juga topi dari dalam taksi. Kalau kita amati, sepertinya wanita itu tidak ingin keberadaan identitasnya diketahui orang. Wanita itu segera masuk ke dalam lift hotel tersebut. Penyamarannya memang begitu sempurna. Apalagi saat itu sudah malam dan badai pun ikut mendampinginya. Tentu suasana seperti itu sungguh menguntungkan, dimana semua orang pasti jarang berkeliaran di cuaca yang buruk seperti saat ini. Setelah menemukan kamar hotel yang cocok dan menjadi tujuannya, wanita itu kemudian mengetuk pintu kamar hotel. Tidak lama kemudian, seorang pria menyambut kedatangannya. Umur pria tersebut kira kira empat puluh tahunan.

   ''Anda sudah datang rupanya. Masuklah!''
Wanita itu menggangguk. Setelah dirinya merasa aman berada didalam kamar hotel, ia segera melepas kacamata dan juga topinya. Sekarang wajahnya begitu kelihatan sosok aslinya, tidak asing lagi. Wanita itu ternyata Sendy.

   ''Duduklah!'' seru pria itu.
Mereka berdua saling duduk berhadapan. Jarak mereka tidak terlalu jauh, hanya terhalangi meja saja.
   ''Jadi, namamu Sendy?''
   ''Benar.''
   ''Aku mengagumi cara kerjamu yang begitu simpel namun terbidik dengan sangat tepat. Anda berhasil mengungkapkan kasus yang ditangani oleh Ayahmu sendiri. Bahkan orang dalam yang berpengalaman pun tak bisa menanganinya.''
Pria itu bertepuk tangan kagum. ''Usiamu masih sangat muda tetapi keahlianmu tak beda jauh dengan seorang detektif.''
   ''Aku gak suka dibanding bandingkan dengan yang lain. Diriku adalah diriku. Keahlianku adalah keahlianku.'' balas Sendy dengan tatapan sinis.
Pria itu spontan tertawa mendengarnya. ''Kelakuanmu tak berbeda jauh dengan Ayahmu. Sangat dingin. Aku dengar, Ayahmu kesulitan menangani kasus pembunuhan yang sudah terjadi tiga bulan yang lalu.''
   ''Itu bukan urusanku.'' jawab singkat Sendy.
   ''Aku dan Ayahmu itu sudah berteman cukup lama. Biasanya, jika ada kasus yang ingin aku ungkapkan aku selalu meminta bantuan dari ayahmu. Selama ini, Ayahmu belum pernah mengecewakanku. Tetapi...''
   ''Langsung ke inti ceritanya saja.'' potong Sendy.

Pria itu kembali tertawa. Sikap Sendy terhadapnya memang bisa dibilang sinis. Tapi, pria itu tidak mempermasalahkannya. Hanya merasa lucu dengan sikap Sendy yang merasa pangkat dan kedudukannya lebih tinggi dari pria itu. Apabila Sendy bersikap jutek rasanya tidak sopan. Mau diapakan lagi, sejak lahir sifat Sendy memang seperti itu.

   ''Baiklah, langsung pada inti cerita saja.''
Kemudian pria itu mengambil foto yang berada dilemari sebelah tempat duduknya. Pria itu memperlihatkan foto yang dipegang nya pada Sendy. Sendy langsung mengamatinya.
   ''Yang anda lihat itu adalah foto seorang anak yang Ayahnya berhutang sebanyak 1,3 miliar padaku. Sebenarnya, dua tahun yang lalu aku sudah melupakan kasus ini.
''Orang itu sudah lama menjadi punggung bagi perusahaan kami sejak lima tahun yang lalu. Namun, tiba tiba saja saat itu dia meminjam uang sebanyak 1,3 miliar padaku. Bukankah sangat lucu seorang pimpinan direktur meminjam uang padaku. Padahal perusahaanya sudah seperti punggung bagi perusahaan kami. Sudah lama kami saling bekerja sama.'' tambah pria itu.
   ''Sejak kapan orang itu menghilang?'' tanya Sendy.
   ''Sudah tiga tahun yang lalu.''
Sendy berfikir. ''Kejadianya sudah cukup lama. Apa setelah meminjam uang lantas orang tersebut menghilang?''
   ''Benar, setelah ku berikan uangnya tiba tiba saja pria itu menghilang tanpa jejak. Sampai saat ini pun aku masih belum bisa menemukannya.''

Setelah meminjam uang pria itu menghilang? Pasti telah terjadi sesuatu. Benar apa yang dikatakan orang ini. Sebagai orang penting bagi perusahaanya pasti sungguh aneh jika tiba tiba saja meminjam uang darinya.
Ucap kata hati Sendy sambil memikirkan baik baik.

   ''Apa saat meminjam, perusahaan orang itu sedang dilanda kesulitan?''
   ''Tidak. Perusahaanya berjalan seperti biasanya, normal.''
   ''Sudah bisa sedikit ku simpulkan bahwa orang itu meminjam bukan karena krisis dana perusahaan. Tetapi ada hal yang lain. Aku harus cari bukti yang lainya.''

Sendy kembali mengamati wajah foto yang dipegangnya. ''Beritahu aku apa yang anda ketahui tentang identitas anak ini.'' tanya Sendy. Pandangan Sendy masih tertuju pada foto yang dipegangnya.
   ''Dia tinggal disebuah apartemen mewah ditengah kota bersama dengan Ibunya. Aku masih belum tahu namanya, tapi aku tahu betul alamat tempat tinggal mereka.''
   ''Boleh aku tahu bagaimana anda bisa dapat foto anak ini?'' tanya Sendy heran.
   ''Sebelum meminjam uang, lebih tepatnya tiga tahun yang lalu, orang itu tiba tiba saja memperlihatkan wajah anaknya. Dia bilang, dia begitu bahagia memiliki anak yang sangat cantik, baik dan sangat patuh terhadapnya. Tentu tidak aneh jika orang tua memperkenalkan anaknya padaku. Tetapi ada hal yang tidak kupahami, kenapa setelah memperkenalkan lantas tiba tiba saja dia menghilang begitu saja.''
   ''Lalu, kenapa tiba tiba saja anda ingin menggangkat kasus ini kembali? Bukankah anda pernah berencana ingin melupakannya?''
   ''Bisnis garmen ku akhir akhir ini sedang menurun. Aku sedang membutuhkan biaya untuk bisa menstabilkan kembali perusahaan ku. Walau hanya 1,3 miliar saja, tetapi dengan uang segitu aku mampu menutupi kesulitan bisnis ku itu. Maka dari itu aku ingin menemukan orang ini. Kalau anda berhasil mengungkapkan dan berhasil membawa uangku, akan aku berikan anda jatah 10 persen.''
Sendy tertawa sinis mendengarnya. ''10 persen? Aku mau anda memberikan ku jatah sebesar 20 persen.''
Pria itu balik tertawa. ''Rupanya anda terlihat sangat percaya diri untuk bisa menuntaskan kasus ini. Baiklah. Aku setuju.''

Sungguh menarik, walau umurnya masih sangat muda tetapi dia sungguh cekatan dalam menyaring kasus. Bahkan, dia bertanya mengapa aku mau mengangkat kasus ini kembali. Biasanya, seorang detektif pun tidak akan mencampuri urusan yang bukan perintah dari atasannya. Tugasnya hanya mengungkapkan apa yang diperintah oleh atasan. Tidak salah lagi, anak ini benar benar anak dari jaksa yang ku kenal. Kelakuan mereka tidak jauh berbeda. Aku memang sudah tepat memilihnya.
Ucap kata isi hati pria itu sambil memandang serius Sendy.

   ''Berikan alamat tempat tinggal anak ini. Aku akan mulai menyelidiki latar belakang keluarganya.'' Ucap Sendy.
   ''Baiklah.''
Pria itu menulis alamat di selembar kertas dan memberikannya pada Sendy. ''Aku mohon kerja samanya.''
Sendy mengangguk.
   ''Maaf, aku lupa menyiapkan suguhan untukmu. Anda mau minum apa? Apa teh hangat? Hujan hujan begini sangat cocok jika kita meminum teh hangat.''
   ''Gak usah. Ini sudah malam. Jika ada hal yang mencurigakan aku akan langsung menghubungi mu. Aku permisi dulu.''
   ''oh, silahkan. Hati hati dijalan.''

Sendy kembali memakaikan topi dan kacamata. Setelah itu berjalan keluar kamar hotel.

***

   Ayu duduk di kasur kamarnya memandangi foto saat bersama Ayahnya yang terpajang dimeja belajar. Kediamannya sungguh sepi, tak tampak orang orang disekitarnya. Ibunya yang bekerja belum juga pulang. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Hujan masih belum kunjung reda. Tiba tiba percikan kilat nampak beserta suara petir yang sangat dahsyat. Petir tadi menyebabkan seluruh listrik disetiap kamar apartemen padam. Ayu kaget serta panik. Hal yang paling ditakutinya adalah kegelapan.

Suasana kamar otomatis menjadi hitam pekat, gelap. Ayu meraba raba kasurnya menemukan ponselnya. Wajahnya menjadi sangat pucat. Jantungnya berdetak sangat kencang. Ayu terus meraba, namun tidak juga menemukan ponselnya. Ayu menjadi sangat ketakutan. Ia menarik selimut dikasurnya, dililitkannya selimut itu ke tubuhnya. Kemudian, ayu berjalan ke pojokan ruangan sambil meraba dinding sebagai penuntunnya. Tubuhnya gemetaran, penuh keringat. Hujan semakin deras saja, anginnya sungguh kencang. Ayu jongkok dipojokan ga karuan. Ketakutannya semakin menjadi jadi. Ia mempererat lilitan selimut ditubuhnya. Kedua tangannya menggenggam kuat selimut.

Lagi lagi cahaya kilat datang. Suara petirnya sungguh besar, sampai sampai membuat lantai apartemen bergetar.

Ayu berteriak ketakutan, memanggil manggil nama Ibunya. Terus berteriak. Tidak ada yang mendengarkan, tidak ada yang memperdulikannya. Yang ada hanya aura aura kesedihan, kesepian serta kesengsaraan.
Ayu kembali berteriak.
   ''Ibu!''
Rasa ketakutannya sudah tidak bisa dikendalikan. Ayu menangis keras. Tanpa sadar selimut yang digengam kuat itu sampai robek. Tidak ada hentinya ayu berteriak sembil menangis kencang.


Sebaliknya, setelah hantaman suara petir yang sangat kuat membuat Dhike terbangun dari tidurnya dikamarnya. Tidak ada yang bisa dilihat Dhike. Ruangan kamarnya begitu gelap. Dhike melamun sebentar, kemudian ia berfikir sejenak. Suasananya begitu menyeramkan. Hujan deras disertai suara petir yang sangat besar. Suasana seperti ini sungguh ditakuti Ayu. Setelah mengingat nama Ayu, spontan Dhike bangkit dari kasurnya. Respon Dhike yang bangkit tiba tiba membuatnya sakit kepala, merasa sangat pusing. Dhike menjadi sempoyongan. Kepalanya sakit seperti tertusuk tusuk benda tajam. Niatnya mendatangi kediaman Ayu terpaksa dibatalkannya.
   ''Maafkan aku, Ayu...''

Dhike terdiam dikasurnya, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk Ayu. Dikepalanya hanya terus mengkhawatirkan Ayu. Apalagi Ayu masih kecil. Wajar di usianya itu Ayu butuh seseorang untuk menemaninya di saat seperti ini.

''Disaat Ayu membutuhkan ku, aku selalu gak ada untuknya. Sedangkan Ayu, dia begitu baik dan perhatian padaku. Aku sungguh minta maaf, Yu.'' Dhike kesal campur kecewa karena tidak bisa menemani Ayu.



BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar